Senin, 25 Oktober 2010

Tangis Untuk Adikku


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Yang mencintaiku lebih daripada aku mencintainya. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan napas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik, hasil yang begitu baik" Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti Ayah mesti mengemis di jalanan, Ayah akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!". Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?. Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?". Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?". Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan....." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar --ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!". "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

"I cried for my brother six times – swaramer. dari milis motivasi

Rabu, 20 Oktober 2010

Tuhan Itu Tidak Ada

Seorang Profesor dari sebuah
universitas terkenal menantang
mahasiswa-mahasiswa nya dengan
pertanyaan ini, "Apakah Tuhan
menciptakan segala yang ada?".
Seorang mahasiswa dengan berani
menjawab, "Betul, Dia yang
menciptakan semuanya".
"Tuhan menciptakan semuanya?"
Tanya professor sekali lagi. "Ya,
Pak, semuanya" kata mahasiswa
tersebut.
Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan
menciptakan segalanya, berarti
Tuhan menciptakan Kejahatan.
Karena kejahatan itu ada, dan
menurut prinsip kita bahwa
pekerjaan kita menjelaskan siapa
kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa
Tuhan itu adalah kejahatan".
"Mahasiswa itu terdiam dan tidak
bisa menjawab hipotesis professor
tersebut. Profesor itu merasa
menang dan menyombongkan diri
bahwa sekali lagi dia telah
membuktikan kalau Agama itu
adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat
tangan dan berkata, "Profesor,
boleh saya bertanya sesuatu?".
"Tentu saja," jawab si Profesor,
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya,
"Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu
saja dingin itu ada.
Kamu tidak pernah sakit flu?"
Tanya si professor diiringi tawa
mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab,
"Kenyataannya, Pak, dingin itu
tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita
anggap dingin itu adalah ketiadaan
panas. Suhu -460F adalah
ketiadaan panas sama sekali. Dan
semua partikel menjadi diam dan
tidak bisa bereaksi pada suhu
tersebut. Kita menciptakan kata
dingin untuk mendeskripsikan
ketiadaan panas."
Mahasiswa itu melanjutkan,
"Profesor, apakah gelap itu ada?"
Profesor itu menjawab, "Tentu saja
itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali
lagi anda salah, Pak.
Gelap itu juga tidak ada. Gelap
adalah keadaan dimana tidak ada
cahaya. Cahaya bisa kita pelajari,
gelap tidak.
Kita bisa menggunakan prisma
Newton untuk memecahkan
cahaya menjadi beberapa warna
dan mempelajari berbagai panjang
gelombang setiap warna. Tapi Anda
tidak bisa mengukur gelap.
Seberapa gelap suatu ruangan
diukur dengan berapa intensitas
cahaya di ruangan tersebut. Kata
gelap dipakai manusia untuk
mendeskripsikan ketiadaan
cahaya."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya,
"Profesor, apakah kejahatan itu
ada?"
Dengan bimbang professor itu
menjawab, "Tentu saja, seperti
yang telah kukatakan sebelumnya.
Kita melihat setiap hari di Koran
dan TV. Banyak perkara kriminal
dan kekerasan di antara manusia.
Perkara-perkara tersebut adalah
manifestasi dari kejahatan."
Terhadap pernyataan ini
mahasiswa itu menjawab, "Sekali
lagi Anda salah, Pak.
Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan
adalah ketiadaan Tuhan. Seperti
dingin atau gelap, kajahatan adalah
kata yang dipakai manusia untuk
mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.
Tuhan tidak menciptakan
kajahatan. Kajahatan adalah hasil
dari tidak adanya kasih Tuhan
dihati manusia. Seperti dingin yang
timbul dari ketiadaan panas dan
gelap yang timbul dari ketiadaan
cahaya."
Profesor itu terdiam.

Siapakah mahasiswa tersebut???
Dia adalah ALBERT EINSTEIN

source: http://
april67.blogspot.com/2010/10/
inilah-hipotesis-mahasiswa-
misterius.html

Senin, 18 Oktober 2010

Kakak Seorang Gelandangan


Roy Angel yang miskin memiliki kakak seorang milyuner. Pada tahun 1940, ketika bisnis minyak bumi sedang mengalami puncak, kakaknya menjual padang rumput di Texas pada waktu yang tepat dengan harga yang sangat tinggi. Seketika itu kakak Roy Angel menjadi kaya raya. Setelah itu kakak Roy Angel menanam saham pada perusahaan besar dan memperoleh untung yang besar. Kini dia tinggal di apartemen mewah diNew York dan memiliki kantor di Allstreet.
Seminggu sebelum Natal, kakaknya menghadiahi Roy Angel sebuah mobil baru yang mewah dan mengkilap. Suatu pagi seorang anak gelandangan menatap mobilnya dengan penuh kekaguman."Hai.. nak" sapa Roy. Anak itu melihat pada Roy dan bertanya "Apakah ini mobil Tuan?". "Ya," jawab Roy singkat. "Berapa harganya Tuan?". "Sesungguhnya saya tidak tahu harganya berapa"."Mengapa Tuan tidak tahu harganya, bukankan Tuan yang punya mobil ini?"Gelandangan kecil itu bertanya penuh heran. "Saya tidak tahu karena mobil ini hadiah dari kakak saya"
Mendengar jawaban itu mata anak itu melebar dan bergumam,"Seandainya.... seandainya..."Roy mengira ia tahu persis apa yang didambakan anak kecil itu, "Anak ini pasti berharap memiliki kakak yang sama seperti kakakku". Ternyata Roy salah menduga, saat anak itu melanjutkan kata-katanya: "Seandainya... seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu.."
Dengan masih terheran-heran Roy mengajak anak itu berkeliling dengan mobilnya. Anak itu tak henti-henti memuji keindahan mobilnya. Sampai satu kali anak itu berkata, "Tuan bersediakah Tuan mampir ke rumah saya? Letaknya hanya beberapa blok dari sini". Sekali lagi Roy mengira dia tahu apa yang ingin dilakukan anak ini."Pasti anak ini ingin memperlihatkan pada teman-temannya bahwa ia telah naik mobil mewah" pikir Roy. "OK, mengapa tidak", kata Roy sambil menuju arah rumah anak itu.
Tiba disudut jalan si anak gelandangan memohon pada Roy untuk berhenti sejenak,"Tuan, bersediakah Tuan menunggu sebentar? Saya akan segera kembali". Anak itu berlari menuju rumah gubuknya yang sudah reot. Setelah menunggu hampir sepuluh menit, Roy mulai penasaran apa yang dilakukan anak itu dan keluar dari mobilnya, menatap rumah reot itu. Pada waktu itu ia mendengar suara kaki yang perlahan-lahan. Beberapa saat kemudian anak gelandangan itu keluar sambil menggendong adiknya yang lumpuh.
Setelah tiba di dekat mobil anak gelandangan itu berkata pada adiknya:"Lihat... seperti yang kakak bilang padamu. Ini mobil terbaru. Kakak Tuan ini menghadiahkannya pada Tuan ini. Suatu saat nanti kakak akan membelikan mobil seperti ini untukmu".
Bukan karena keinginan seorang anak gelandangan yang hendak menghadiahkan mobil mewah untuk adiknya yang membuat Roy tak dapat menahan haru pada saat itu juga, tetapi karena ketulusan kasih seorang kakak yang selalu ingin memberi yang terbaik bagi adiknya.

dari milis motivasi